IndonesianJournal.id, Jakarta – IJers, apa yang kamu lakukan untuk merayakan bertambahnya umur kamu atau salah satu anggota keluargamu? Makan bersama, pesta, selamatan? Berbeda dengan kebanyakan orang saat merayakan ulang tahunnya, Si Kembar Marssadi, Noorca M. Massardi dan Yudhistira A.N.M. Massardi kompak merilis buku yang menandakan 70 tahun perjalanan hidup mereka.
Bertempat di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta Pusat, Rabu (28/2) yang lalu launching buku yang hadiri keluarga, sahabat dan juga beberapa seniman Indonesia terlihat hadir meramaikan acara yang diisi dengan bedah buku, pembacaan puisi dan musikalisasi puisi. Melalui Buku Puisi “Dari Paris Untuk Cinta” Karya Noorca M. Massardi dan “Kita Seperti Dedaun” Karya Yudhistira A.N.M. Massardi ini Si Kembar Massardi ingin menegaskan bahwa dunia kreatif tidak mengenal batasan usia untuk terus berkarya.
Dua buku puisi terbaru yang diluncurkan oleh Noorca dan Yudhis masing-masing memuat 70 puisi di dalamnya. Maman Mahayana, yang mengulas buku puisi Yudhistira Massardi, menyatakan bahwa jika mencermati keseluruhan puisi yang terhimpun dalam buku ini,
Yudhistira tampaknya tidak termasuk golongan—meminjam istilah Rendra— penyair salon.

Lebih lanjut Maman menjabarkan puisi di buku ini sebagian besarnya disusun lewat larik-larik pendek, sebagiannya lagi bermain dengan larik-larik panjang. Di antara itu, penyair (Yudhistira Massardi) kerap bersiasat melakukan enjambemen, yaitu pemenggalan kalimat atau frasa untuk membangun kekuatan bunyi atau sengaja bersiasat: menyembunyikan pesannya atau sekadar bermain tipografi.
Adapun Seno Gumira Ajidarma, yang mengulas buku Noorca Massardi, mengatakan bahwa kumpulan puisi ini adalah sebuah memoar. Dalam rumusan yang lebih canggih, memoar adalah kenangan-kenangan bertumbuh dan berkembang, atawa peristiwa-peristiwa yang dengan suatu cara berakibat kepada penulisnya. Memoar juga memusatkan perhatian kepada pemikiran dan perasaan penulisnya tentang peristiwa-peristiwa tersebut; apa yang mereka pelajari, dan bagaimana mereka meleburkan pengalaman-pengalaman itu ke dalam hidup mereka.
Sajak-sajak dalam buku ini, yang sebagian besar berjudul nama-nama tempat, yang menjadi bagian dari kenangan ‘ku’ bersama ‘mu’ menjadi pemantik bagi representasi cinta; yang bukan hanya dikenang, tetapi juga dihayati, dijaga, bahkan dihidupkan, dengan sebisa mungkin mengungkap kembali pesona, ketakjuban, dan kebahagiaan, yang kalaupun tidak sama, pencapaiannya setara.
Noorca dan Yudhis, Si Kembar kelahiran Subang, Jawa Barat, 28 Februari 1954 ini lahir, tumbuh, berkembang dan terus menyumbang untuk konstelasi sastra tanah air melalui jalan yang identik. Situs kreatifitas keduanya terentang di jalur yang sama; jurnalistik, kepenyairan dan dunia sinema.
Karya-karya Yudhis (untuk menyebut sedikit diantaranya; novel “Arjuna Mencari Cinta”, 1977, dan kumpulan puisi “Sajak Sikat Gigi”, 1983) banyak mendapat respons pembacaan menarik dari sisi isu yang diangkat hingga pilihan pendekatan kesusastraannya. Sederhananya, bagi Yudhis, karya sastra yang berbobot adalah karangan yang mampu berkomunikasi dengan pembacanya, dengan penikmat karya sastra itu sendiri.
Sementara Noorca, memulai kiprah kepengarangannya melalui pintu jurnalistik dan pertunjukkan-pertunjukkan drama. Sejumlah lakon drama yang ditulis Noorca, antara lain; “Perjalanan Kehilangan” (1974) dan “Terbit Bulan Tenggelam Bulan” (1976) telah menandai periode awal kredibilitas kepengarangannya dengan meraih penghargaan sayembara penulisan lakon dari Dewan Kesenian Jakarta.
Karya novel Noorca berjudul “September” (2006) yang terinspirasi dari Tragedi September 1965 banyak didiskusikan sebagai pemeriksaan fiksional, diantara begitu banyak pendekatan pemeriksaan terhadap peristiwa sejarah 30 September hingga 1 Oktober 1965.